Kamis, 18 Maret 2010

IMUNISASI

I. PENDAHULUAN
Dalam perkembangannya suatu vaksin terhadap penyakit yang prevalensinya tinggi, pada suatu Negara, ketidakjelasan mengenai keseimbangan biaya dan keuntungan (cost nad benefit) mengakibatkan terhambatnya pemakaian vaksin itu dalam praktek kesehatan masyarakat. Uji coba prelisensi konvesional mengenai proteksi vaksin mengulang ketidakjelasan tersebut diatas dengan memfokuskan pada pengukuran efektivitas vaksin yaitu suatu performens dari suatu vaksin dibawah kondisi ideal. Ujicoba efektifitas vaksin menjadikan pandangan yang lebih pragmatic dengan memperlakukan performens suatu vaksin dibawah kondisi biasa di lapangan dalam program kesehatan msyarakat. Dengan menangkap efek langsung / tidak langsung dari vaksinasi dan secara komprehensif memanfaatkan hasil-hasilnya demi kesehatan masyarakat.
VAKSIN
II. DEFINISI
Vaksin adalah antigen atau kuman / toxin yang dilemahkan atau dimatikan sehingga merangsang tubuh untuk membentuk antibody.
Hal-hal yang merusak vaksin :
1) Panas
2) Sinar matahari
3) Pembekuan
4) Desinfeksi/ antiseptic

III. EFEKTIFITAS VAKSIN
Efektifitas vaksin tergantung dari :
1. Factor – factor yang mempengaruhi imunogenitas antigen
a. Protein alami umumnya merupakan imunogen yang lebih kuat daripada sediaan yang dipanaskan atau diolah dengan enzim, akan tetapi protein alami itu perlu diubah untuk mengurangi toksisitasnya atau efek menimbulkan penyakit, dengan mempertahankan daya antigenitasnya misalnya pengolahan dengan formaldehyde pada pembuatan toksoid tetanus, difteri dan pertusis.
b. Besarnya dosis mempengaruhi kwantitas, afinitas (kekuatan mengikat antigen) serta spesifisitas antigennya terutama untuk polisakarida dan virus
c. Cara pemberian antigen oral, parenteral dll
d. Penambahan adjuvant pada vaksin TT
2. Factor – factor hospes yang mempengaruhi reaksi imun.
Tatanan genetic yang spesifik akan menentukan kuantitas dan kualitas respon imun. Pengenalan antigen, kecepatan sintesa zat anti dan tipe reaksi imun dikendalikan secara genetic dan antigen harus mengenali unsur asing agar bisa bekerja. Untuk itu harus ada suatu mekanisme untuk mengenali antigen sendiri, dan manusia mempunyai system pengenalan yang baik pada kromosom 6, lokus genetic ini menentukan penempatan antigen pada permukaan sel hospes. Hospes normal sendiri secara genetic tidak mampu untuk membentuk respon imun terhadap antigen semacam itu.
Oleh sebab itu maka muncul dua akibatnya :
a. Antigen yang sama dengan antigen hospes tidak menimbulkan reaksi
b. Antigen yang tidak sama dengan antigen hospes akan menimbulkan reaksi imunologi.
3. Factor – factor yang berpengaruh terhadap keberhasilan imunisasi
a. Genetic
b. Status imun klien
Kadar anti body maternal tinggi pada bayi terhadap virus campak, ASI yang masih banyak mengandung IG-A sekretori terhadap virus polio (imunisasi tidak efektif) perlu maturitas imunologi (pada neonates kurang berhasil). Klien mendapat obat imunosupresint, klien dengan penyakit defisiensi imun, infeksi sistemik, keadaan gizi buruk.
c. Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin masih mengandung sifat antigenitas tetapi sudah tidak mengandung sifat patogenisitas atau toksisitas.
Cara pemberian, dosis yang diberikan, frekwensi pemberian, jenis vaksin, semua indicator diatas sangat berperan dalam keberhasilan.

IV. JENIS VAKSINASI
Vaksinasi terbagi dalam dua golongan yaitu :
1. Vaksin Hidup
Merupakan bakteri / virus yang telah dilemahkan seperti ; campak, BCG, polio, tifoid oral.
Sifatnya mengadakan reflikasi didalam tubuh manusia sehingga merangsang antibody, sensitive terhadap antibody yang beredar sehingga tidak berespon, labil dan mudah rusak apabila terkena panas, cahaya sehingga harus disimpan dalam refrigator.
Imunitas yang dihasilkan oleh beberapa vaksin dapat berlangsung lama, sedang lainnya (sesuai perjalanan alamiah infeksi), mungkin berjalan singkat tetapi kebanyakan memang berjangka waktu panjang.
2. Vaksin Inaktif
Merupakan bakteri / virus atau komponen yang dibuat tidak aktif DPT, hep A dan B. sifatnya ; tidak mampu bereplikasi, tidak dipengaruhi antibody yang beredar, perlu pengulangan karena memerlukan sejumlah besar antigen yang lebuh banyak sehingga lebih mudah memberikannya dalam dosis terbagi.

V. JENIS IMUNOGLOBULIN
1. IgG
a. Dapat melakukan opsonisasi bakteri, sehingga lebih mudah difagositosis
b. Fiksasi komplemen yang meningkatkan pembunuhan bakteri
c. Menetralkan toksin bakteri dan virus
d. Dapat melalui plasenta
2. IgM
a. Dibentuk sebagai respon awal terhadap antigen
b. Dapat memfiksasi komplemen
c. Tidak dapat melalui placenta
d. Reseptor antigen pada permukaan sel B
3. IgA
a. Sekretory IgA menghalangi perlekatan bakteri atau virus pada mukosa
b. Tidak memfiksasi komplemen
4. IgE
a. Menengahi reaksi hipersensitifitas dengan mengakibatkan pelepasan mediator dari sel mast dan basofil setelah terpapar allergen.

VI. JENIS KEKEBALAN YANG ADA
1. Kekebalan alami
Kekebalan yang didapat bukan melalui kontak dengan suatu antigen. Kekebalan ini bersifat nonspesifik, seperti pertahanan tubuh terhadap infeksius, misalnya kulit, membrane mukosa.
2. Kekebalan didapat
Merupakan kekebalan yang terjadi setelah terpapar suatu antigen, bersifat spesifik, dapat berupa kekebalan aktif atau pasif.
3. Kekebalan aktif
Kekebalan ini diperoleh setelah seseorang kontak dengan antigen asing, yang diperoleh karena mengalami penyakit atau pemberian vaksinasi dengan :
a. Bakteri hidup yang dilemahkan : BCG
b. Bakteri yang sudah dimatikan : Pertusis
c. Virus hidup yang dilemahkan : polio, campak
d. Toksoid : tetanus, difteri
e. Bagian bakteri yang tidak infeksius : HBSAg
4. Kekebalan pasif
Kekebalan yang diperoleh dari antibody yang sebelumnya diproduksi oleh mahluk lain ( hewan/manusia ) : ATS ( Anti Tetanus Serum ), ADS ( Anti Difteri Serum ).
5. Kekebalan humoral
Terdapat dalam immunoglobulin G, A, M
Respon Primer
a. Terjadi bila terpapar Ag untuk pertama kali ( misalnya ; imunisasi suntikan pertama ), Antibody terdeteksi dalam waktu 7 – 10 hari.
b. Antibody dalam serum meningkat selama beberapa minggu kemudian turun lagi.
c. Antibody yang pertama muncul adalah IgM.
Respon Sekunder
a. Terjadi bila terpapar ag yang sama untuk kedua kali ataupun Ag yang sangat mirip
b. Terjadi beberapa bulan atau tahun setelah respon primer
c. Timbul respon pembentukan antibody yang cepat ( biasanya 3 – 5 hari ) dengan kadar tinggi
d. Hal ini terjadi karena adanya sel memory yang sensitive terhadap Ag setelah kontak pertama.
e. Terbentuk IgG yang banyak dan bertahan lebih lama.
VII. HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN SEBELUM VAKSINASI
a. Riwayat vaksinasi sebelumnya
b. Apakah mendapat pengobatan steroid, radio teraphy, atau kemoteraphy.
c. Menderita sakit yang berat atau penurunan imunitas
d. Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan imunitas
e. Waktu mendapat immunoglobulin/transfuse darah

IMUNISASI
I. DEFINISI
Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak-anak sehingga terhindar dari penyakit ( Dep Kes 2000 )

II. TUJUAN IMUNISASI
a. Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang
b. Menghilangkan penyakit tertentu pada populasi.

III. SASARAN DAN TARGET IMUNISASI
a. Bayi < 1 tahun b. Anak 6-7 tahun c. Anak perempuan 12-13 tahun d. Wanita hamil e. Calon pengantin peerempuan IV. IMUNISASI DASAR A. Imunisasi BCG 1) Diberikan sebelum usia 2 bulan 2) Secara intra cutan (IC) di daerah insertion musculus deltoid dekstra 3) Dosis 0,05 ml 4) Vaksin BCG berbentuk bubuk kering, dilarutkan dengan 4 cc NaCL 0,9%, dipakai dalam waktu 3 jam 5) Penyimpanan pada suhu <5oC Reaksi sesudah imunisasi BCG : 1) Reaksi normal (local) a) 2 minggu ; indurasi, eritema, kemudian menjadi pustule b) 3-4 minggu ; pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu pengobatan) c) 8-12 minggu ; ulkus menjadi scar diameter 3-7 mm 2) Reaksi regional a) Merupakan respon seluler pertahanan tubuh b) Kadang terjadi di kelenjar axila dan servikal c) Timbul 2-6 bulan setelah imunisasi d) Kelenjar berkonsisten padat, tidak nyeri, demam (-) e) Akan mengecil 1-3 bulan kemudian tanpa pengobatan Komplikasi : 1) Abses ditempat suntikan a) Abses bersifat tenang (tidak perlu teraphy) b) Oleh karena suntikan sub cutan (SC) c) Abses matang 2) Limfadenitis supuratif a) Oleh karena suntikan sub cutan (SC) atau dosis tinggi b) Terjadi 2-6 bulan sesudah imunisasi c) Teraphy tuberkulostatik ; mempercepat pengecilan Kontraindikasi : 1) Respon imunologik terganggu ; infeksi HIV, defisiensi imun congenital, leukemia, keganasan 2) Respon imunologik tertekan ; kortikosteroid, obat kanker, radiasi B. Imunisasi Hepatitis B 1) Vaksin berisi HBsAg murni 2) Diberikan sedini mungkin setelah lahir 3) Secara Intra Muskular (IM) di daerah deltoid 4) Dosis 0,5 ml 5) Penyimpanan vaksin pada suhu 2-8oC 6) Bayi lahir dari ibu HBsAg (+) diberikan immunoglobulin hepatitis B 12 jam setelah lahir, ditambah imunisasi hepatitis B 7) Dosis kedua 1 bulan berikutnya Efek samping : 1) Demam ringan 2) Perasaan tidak enak pada pencernaan 3) Reaksi nyeri pada tempat suntikan Tidak ada kontraindikasi C. Imunisasi Polio 1) Vaksin dibuat dari virus yang dilemahkan 2) Vaksin berbentuk cairan dengan kemasan I cc atau 2 cc 3) Pemberian secara oral sebanyak 2 tetes (0,1 ml) 4) Vaksin polio diberikan 4 kali, interval 4 minggu 5) Penyimpanan pada shu 2-8oC 6) Kontra indikasi ; defisiensi imunologik atau kontak dengannya. D. Imunisasi DPT 1) Terdiri dari : toxoid difteri (racun yang dilemahkan), bordittela pertusis ( bakteri yang dilemahkan ), toxoid tetanus (racun yang dilemahkan). 2) Merupakan vaksin cair, jika didiamkan sedikit berkabut, endapan putih didasarnya. 3) Diberikan pada bayi > 2 bulan, karena reaktogenitas pertusis pada bayi kecil
4) Dosis 0,5 ml
5) Secara intra muscular (IM) dibagian luar paha
6) Imunisasi dasar 3X, dengan interval 4 minggu.
Efek samping :
1) Demam
2) Nyeri pada tempat suntikan 1-2 hari
Kontra indikasi :
1) Kelainan neurologis dan terlambat tumbuh kembang
2) Ada riwayat kejang
3) P enyakit degenerative
4) Pernah sebelumnya diimunisasi DPT menunjukan : anafilaksis, ensefalopati, kejang, renjatan, hiperpireksia, tangisan/teriakan hebat.

E. Imunisasi Campak
1) Vaksin dari virus hidup yang dilemahkan
2) Berbentuk kering, dilarutkan dalam 5 cc aquades
3) Diberikan pada bayi umur 9 bulan oleh karena masih ada antibody yang diperoleh dari ibu
4) Dosis 0,5 ml
5) Diberikan secara sub cutan (SC) di lengan kiri
6) Disimpan pada suhu 2-8oC, bisa sampai 20oC jam pada suhu 2-8oC
7) Vaksin yang telah dilarutkan bertahan sampai 8
8) Jika ada wabah imunisasi dapat diberikan pada usia 6 bulan, diulang 6 bulan kemudian
Efek samping :
1) Demam
2) Diare
3) Konjungtivitis
4) Ruam setela 7-12 hari pasca imunisasi
5) Encephalitis jarang terjadi
Kontra indikasi :
1) Infeksi akut dengan demam, defisiensi imunologik, alergi protein telur, hipersensitifitas dengan kanamisisn dan eritromisin
2) Anak yang telah diberi transfuse darah atau immunoglobulin ditangguhkan 3 bulan
3) Tuberculin tes ditangguhkan minimal 2 bulan setelah imunisasi campak.

V. JADWAL PEMBERIAN IMUNISASI
UMUR JENIS IMUNISASI
0 bulan HB1, BCG, Polio 1
2 bulan HB2, DPT 1, polio 2
3 bulan DPT 2, polio 3
4 bulan DPT 3, polio 4
7 bulan HB3
9 bulan Campak






VI. RESPON KEKEBALAN TERHADAP IMUNITAS
a. Respon kekebalan pada tetanus toksoid
Pemberian vaksin ini memberikan kekebalan aktif terhadap tetanus, imunisasi dasar ulang pada anak diberikan dengan imunisasi DPT/DT. Jika setelah imunisasi seseorang terpapar tetanus, maka suatu dosis ulang toksoid pada saat luka biasanya akan menghasilkan peningkatan antitoksin yang bersikulari, yang akan memberikan perlindungan. Setelah suntikan pertama terbentuk perlindungan hanya sedikit, 2-4 minggu setelah suntikan ke-2 terbentuk antitoksin biasanya lebih dari batasa minimal yang protektif. Suntikan ke-3 :
1). Sebaiknya diberikan 6-12 bulan setelah suntikan ke-2
2). Menghasilkan produk antitoksin yang banyak
3). Memberikan perlindungan paling sedikit 5 tahun
Setiap dosis tambahan dengan interval 1 tahun akan meningkatkan kadar antitoksin dan memperpanjang lamanya kekebalan. Setelah suntikan ke-4 terbentuk kekebalan yang cukup untuk 10 tahun, setelah suntikan ke-5 terbentuk kekebalan paling sedikit 20 tahun. Kontra indikasi pada anak yang sakit parah, efek samping toksoid tetnus berupa rekasi local ( kemerahan, bengkak, dan merasa sakit di tempat suntikan ).
b. Respon kekebalan pada imunisasi OPV
Pemberian vaksin ini menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomyelitis. Reaksi efek samping ; pusing, diare dan sakit otot yang ringan. Antibody yang dihasilkan setelah OPV adalah :
1). Sekretory IgA pada mukosa nasofaring dan usus, timbul 1-3 minggu setelah imunisasi dan bertahan 5-6 tahun.
2). IgM dalam serum
3). IgG dalam serum.
c. Respon kekebalan pada imunisasi campak
Imunisasi campak dianjurkan diberikan satu dosis pada umur 9 bulan atau lebih, pada kejadian luar biasa dapat diberikan pada umur 6 bulan dan diulang 6 bulan kemudian. Reaksi timbul demam setelah 5-6 hari post imunisasi selama 2 hari, timbul ruam hari ke-7 sampai 10.
d. Respon kekebalan pada imunisasi DPT
Imunisasi dasar diberikan setelah berusia 2 bulan, dianjurkan 5 kali pemberian yaitu pada usia 2,4,6,15-18 bulan, saat masuk sekolah dosis ke-4 sekurang-kurangnya diberikan 6 bulan setelah dosis ke-3. Reaksi efek samping akibat pertusis: kemerahan, bengkak, nyeri, demam ringan, reaksi yang paling serius ensepalopati akut, rekasi anafilaktif.
e. Respon kekebalan pada imunisasi BCG
Pemberian BCG memberi perlindungan terhadap TBC berat seperti milier, meningitis hipotese, melindungi penyebaran hematogen tetapi tidak mampu menghalangi pertumbuhan TBC paru. Reaksi setelah imunisasi: ulkus local akan sembuh 2-3 bulan terbentuk jaringan parut 4-8 mm. Kontra indikasi ; pasien dengan imunokompromis ( leukemia, pengobatan steroid, infeksi HIV ), reaksi yang mungkin terjadi :
1). Reaksi local yang terjadi 1-2 mg setelah penyuntikan berupa indurasi dan eritema ditempat suntikan yang berubah menjadi pustule kemudian pecah menjadi ulkus dan akhirnya menyembuh spontan dalam waktu 8-12 minggu dengan meninggalkan jaringan parut.
2). Reaksi regional berupa pembesaran kelenjar aksila atau servikal, konsistensi padat, tidak nyeri tekan, tidak disertai demam yang akan menghilang dalam waktu 3-6 bulan.
f. Respon kekebalan pada imunisasi hepatitis B
Respon primer yang terdiri dari 2-3 kali pemberian vaksin HB dengan interval satu bulan, antibody timbul, tetapi jumlahnya menurun setelah beberapa bulan kemudian. Pemberian ulang menimbulkan respon sekunder yang cepat dan titer yang jauh lebih tinggi, kemudian diikuti penurunan setelah beberapa tahun. Kemampuan anamnestik imunologis terletak pada limfosit B dan T helper yang akan ditramsformasikan menjadi efektor sel yang matang untuk membentuk antibody. Setiap paparan virus atau antigen selalu meninggalkan sel memori baru yang mempunyai kemampuan merespon secara cepat. Unsur yang pokok dalam proteksi terhadap HB adalah antibody yang berarti kekebalan.












VII. PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI
A. TBC
1. PENGERTIAN
TBC adalah penyakit berbahaya, sangat menular dan disebabkan oleh bakteri dan bukan merupakan penyakit keturunan.
2. ETIOLOGI
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosis dan Mycrobacterium bovis. Mycrobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch pada tahun1882. Basil tuberculosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam cairan mati pada suhu 60oC dalam 15-20 menit. Fraksi protein basil tuberculosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan factor penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel.
3. PATOFISIOLOGI
Masuknya basil tuberculosis dalam tubuh tidak selalu menimbulkan penyakit. Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil tuberculosis serta daya tahan tubuh manusia.
Basil tuberculosis masuk ke dalam paru melalui udara dan dengan masuknya basil tuberculosis maka terjadi eksudasi dan konsolidasi yang terbatas dan disebut focus primer. Basil tuberculosis menyebar dengan cepat melalui saluran getah bening menuju kelenjar regional yang kemidian akan mengadakan reaksi eksudasi. Focus primer, limfangitis dan kelenjar getah bening regional yang membesar, membentuk kompleks primer. Kompleks primer terjadi 2-10 minggu setelah infeksi. Bersamaan dengan terbentuknya kompleks primer terjadi sensitivitas terhadap tuberkuloprotein yang dapat diketahui dari uji tuberculin. Waktu antara terjadinya infeksi sampai terbentuknya kompleks primer disebut masa inkubasi.
4. MANIFESTASI KLINIS,
Permulaan tuberculosis primer biasanya sukar diketahui secara klinis karena penyakit mulai secara perlahan-lahan. Kadang-kadang tuberculosis ditemukan pada anak tanpa keluahan dan gejala. Dengan melakukan uji tuberculin secara rutin dapat ditemukan penyakit tuberculosis pada anak. Gejala tuberculosis primer dapat juga berupa panas yang naik turun selama 1-2 minggu dengan atau tanpa batuk pilek.
Gambaran klinis tuberculosis primer ialah : panas, batuk, anoreksia, dan berat badan yang menurun, keringat pada malam hari.
5. KOMPLIKASI,
Tuberculosis primer cenderung dapat sembuh sendiri, tetapi sebagian akan menyebar lebih lanjut dan dapat menimbulkan komplikasi. Tuberculosis dapat menyebar dalam jaringan paru sendiri. Selain itu basil tuberculosis dapat masuk kedalam aliran darah secara langsung atau melalui kelenjar getah bening. Basil tuberculosis dalam aliran darah dapat mati, tetapi dapat pula berkembang terus tergantung dari virulensi kuman dan keadaan penderita. Melalui aliran darah basil tuberculosis dapat mencapai bagian paru lain, selaput otak, otak, tulang, hati, ginjal dan lain-lain. Sebagian besar komplikasi primer terjadi dalam 12 bulan setelah terjadinya penyakit.
6. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan tuberculosis ditentukan berdasarkan 2 pertimbangan bakteriologis :
a. Adanya mutan yang resisten terhadap obat.
b. Adanya basil tuberculosis yang hidup karena pertumbuhannya yang lambat dan intermiten. Hal ini biasanya ditanggulangi dengan memperpanjang masa pengobatan sampai 18 bulan atau lebih.
Jenis obat-obatan yang diberikan :
a. Rifampisisn : bekerja bakterisidal terhadap ketiga jenis populasi basil. Rifampisin diberikan dengan dosis 10-15 mg/kgBB/hari diberikan sekali sehari peroral pada saat lambung kosong. Rifampisin biasanya diberikan selama 6-9 bulan
b. INH (isoniazid) : bekerja bakterisidal terhadap basil yang berkembang aktif ekstraseluler dan basil didalam makrofag. Dosis INH diberikan 10-20 mg/kgBB/hari peroral, dapat diberikan selama 18-24 bulan.
c. Streptomisin : bekerja bakterisidal hanya terhadap basil yang tumbuh aktif ekstraseluler, diberikan secara intramuscular dengan dosis 30-50 mg/kgBB/hari, dengan maksimum 750 mg/hari, diberikan setiap hari selama 1-3 bulan kemudian dapat dilanjutkan 2-3 kali seminggu selama 1-3 bulan lagi.
d. Pirazinamid : bekerja bakterisidal terhadap basil intraseluler. Dosis pirazinamid adalah 30-35 mg/kgBB/hari, peroral 2 kali sehari selama 4-6 bulan.
e. Etambutol : belum jelas apakah bekerja bakterisidal atau bakteriostatik.diberikan dengan dosis 20mg/kgBB/hari.
B. DIPTERI
1. PENGERTIAN
Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan local.
2. PENYEBAB,
Disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membuat spora.
3. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas 2-7 hari, gejala klinis dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala local serta gejala akibat oksitoksin pada jaringan yang terkena.
Gejala umum yang timbul berupa demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyari kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan serak dan stridor, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena ;
a. Difteri hidung
 Mula-mula tampak pilek
 Secret yang keluar tercampur darah berasal dari pseudomembran
b. Difteri faring dan tonsil
 Radabf selaput lender
 Radang akut tenggorokan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi
 Ditemukan psudomembran yang awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring.
 Nafas berbau
 Pembengkakan kelenjar regional (leher sapi/bull neck)
 Suara serak serta stridor inspirasi
 Pada pemeriksaan darah terjadi penurunan kadar haemoglobin, leukositosis polimrfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin,
 Albuminuria ringan
c. Difteri laring dan trakea
 Suara serak dan stridor inspirasi jelas
 Timbul sesak nafas hebat,
 Sianosis
 Tampak retraksi suprasternal serta epigastrium
 Pembesaran kelanjar regional (bull neck)
 Laring kemerahan, sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran.
d. Difteri kutaneus
4. KOMPLIKASI,
a. Saluran nafas
Obstruksi saluran nafas dengan segala akibatnya, bronkopneuminia dan atelektasis
b. Kardiovaskuler
Miokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini
c. Urogenital
Nefritis
d. Susunan saraf
1) Paralisis/paresis palatum mole sehingga terjadi rinilalia, kesukaran menelan.
2) Paralisis/paresis otot-otot mata, sehingga dapat mengakibatkan strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis yang timbul setelah minggu ketiga
3) Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu keempat. Kelainan dapat mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot pernafasan.
5. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Pengobatan umum
Terdiri dari perawatan yang baik, bedrest, isolasi penderita dan pengawasan ketat atas kemungkinan terjadinya kompilkasi.
b. Pengobatan spesifik
1) Anti Diphtheria serum (ADS)
2) Antibiotika
3) Kortikosteroid untuk mencegah timbulnya kompilkasi miokarditis
Penderita difteria dirawat selama 3-4 minggu, bila terdapat sumbatan jalan nafas perlu dipertimbangkan tindakan trakheostomy, karena tindakan ini peda difteri laring dengan sumbatan jalan nafas akan menyelamatkan jiwa penderita. Perawatan trakheostomy juga memegang peranan penting misalnya dengan suction.

C. PERTUSIS
1. PENGERTIAN
Pertusis atau batuk rejan
2. PENYEBAB
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemophilus pertusis. B pertusis adalah kuman yang kecil, tidak bergerak, gram negative dan didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis.
3. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas 7-14 hari, penyakit dapat berlangsung 6 minggu atau lebih dan terbagi dalam 3 stadium, yaitu :
a. Stadium kataralis
Lamanya 1-2 minggu, pada permulaan hanya batuk-batuk ringan, terutama pada malam hari. Batuk-batuk ini makin lama makin bertambah berat dan terjadi siang dan malam. Gejala lainnya ialah pilek, serak dan anoreksia, stadium ini menyerupai influenza.
b. Stadium spasmodic
Lamanya 2-4 minggu, batuk makin bertambah berat dan terjadi paroksismal berupa batuk-batuk khas, tampak berkeringat, pembuluh darah leher dan muka melebar, gelisah, muka merah, sianotik, serangan batuk panjang tidak ada inspirium dan diakhiri dengan whoop (tarikan nafas panjang dan dalam, berbunyi melengking). Sering disertai muntah dan sputum kental, anak bisa terberak-berak dan terkencing-kencing, pada penyakit berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis oleh karena meningkatnya tekanan pada saat serangan batuk.
c. Stadium konvalesensi
Lamanya kira-kira 2 minggu sampai sembuh, pada minggu keempat jumlah dan beratnya serangan batuk berkurang, muntah berkurang, nafsu makan membaik.
4. KOMPLIKASI
a. System pernafasan
1) Bronchitis
2) Bronkopneumonia
3) Ateleklasis
4) Emfisema
5) Bronkiektasis

b. System pencernaan
1) Muntah-muntah berat dapat menyebabkan emasiasi
2) Prolapsus rectum atau hernia
3) Ulkus pada ujung lidah
4) Stomatitis
c. Susunan saraf
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah-muntah. Kadang-kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin juga terjadi perdarahan otak
d. Lain-lain
Epistaksis, hemoptisis, dan perdarahan subkonjungtiva.
5. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Antibiotika
b. Immunoglobulin
c. Ekspektoran dan mukolitik
d. Kodein diberikan bila batuk hebat
e. Luminal sebagai sedative.

D. HEPATITIS
1. PENGERTIAN
Hepatitis virus adalah infeksi hati yang dapat disebabkan oleh 2 macam virus, yaitu virus hepatitis A penyebab dari hepatitis infeksiosaatau epidemic dan virus hepatitis B penyebab dari hepatitis serum atau ikterus serum homologik.
a. Hepatitis A
Hepatitis A dapat terjadi dengan masa inkubasi sekitar 3-5 minggu atau rata-rata 28 hari. Hepatitis A tersebar secara “fecal-oral route” terbanyak dari orang ke orang. Infeksi ini mudah terjadi di dalam lingkungan dengan hygiene dan sanityasi yang buruk dengan penduduk yang sangat padat. Penyakit ini sering terjadi akibat adanya kontaminasi air dan makanan.
b. Hepatitis B
Ada tiga antigen dalam virus hepatitis B (HBV), yaitu:
1) Antigen permukaan, antigen Australia (HBsAg) yang akan membentuk antigen permukaan
2) Antigen partikel dane, yang merupakan nukleosplasmid virus hepatitis yang berukuran 42 nm (HBcAg)
3) Antigen e (HBeAg) yang berhubungan erat dengan jumlah partikel virus. Nampaknya merupakan antigen yang spesifik untuk hepatitis B, namun tempat dan hubungan yang tepat belum diketahui secara pasti.
Hepatitis B menjadi makin penting karena dapat menyebabkan penyakit hati kronik, sirosis hepatis dan karsinoma primer hati. Paling tidak hepatitis B akan menjadi karier dan dapat menyebabkan kerusakan sel hati. Penularan hepatitis B dapat melalui mulut ke mulut, hubungan seks, dan cairan tubuh penderita (jarun suntik), atau transfuse.
2. MANIFESTASI KLINIS,
3. KOMPLIKASI
Hepatitis B sering menjadi kronis dan selanjutnya akan menyebabkan kerusakan berupa nekrosis serta kolaps jaringan reticulum. Pembentukan hiperplasi noduler dan jaringan parut oleh virus non-A, non-b sering menjadi penyebab penyakit hati kronis. Karsinoma hati primer dapat menjadi salah satu komplikasi hepatitis B, tetapi penyakit ini sebenarnya merupakan hasil bersama dari factor lingkungan, genetic, makanan, hormone, toksin jamur, zat karsinogen dan factor lingkungan lain.
4. PENATALAKSANAAN MEDIS
Interferon yang merupakan glikoprotein kecil mempunyai kemampuan menghalangi pembelahan virus.

E. TETANUS
1. DEFINISI
Penyakit tetanus disebabkan oleh absorbsi eksotoksin sangat kuat yang dilepaskan oleh Clostridium tetani. Clostridium tetani hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah dan mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.
2. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas biasanya 5- 14 hari, tetapi kadang – kadang sampai beberapa minggu pada infeksi ringan atau jika terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan ;
a. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris
b. Kuduk kaku samapi opistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki)
c. Ketegangan otot dinding perut
d. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornu anterior.
e. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas), sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
f. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini.
g. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Anak tetap sadar, spasme mula-mula intermiten diselingi periode relaksasi, kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri, kadang-kadang terjadi perdarahan intramusculus akibat kontraksi yang kuat.
h. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernafasan dan laring, retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretral,
i. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir
j. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak (TIK)
3. KOMPLIKASI,
a. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya saliva di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi
b. Asfiksia
c. Atelektasis karena obstruksi oleh secret
d. Fraktura kompresi.
4. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Pengobatan spesifik dengan ATS 20.000 U/hari selama 2 hari
b. Antikonvulsan dan penenang
c. Penisilin prokain 50.000 U/kgBB/hari IM, diberikan sampai 3 hari panas turun
d. Diet TKTP
e. Isolasi untuk menghindari rangsangan
f. Bila perlu diberikab oksigen atau dilakukan trakeostomi untuk menghindari akibat obstruksi jalan nafas.

F. POLIO
1. PENGERTIAN
Poliomyelitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dengan predileksi pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak dan akibat kerusakan bagian susunan saraf pusat tersebut akan terjadi kelumpuhan dan atropi.
2. PENYEBAB
Penyebab penyakit polio adalah virus poliomyelitis yang tergolong dalam enterovirus yang fltrabel. Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam deep freeze. Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan pemberian zat oksidator yang kuat seperti peroksida. Masa inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang-kadang terdapat kasus dengan inkubasi antara 3-35 hari.
3. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik dari polio dapat berupa ; asimtomatis (silent infection), poliomyelitis abortif, poliomyelitis non-paralitik, poliomyelitis paralitik.
a. Silent infection
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemic diperkirakan terdapat pada 90-95 % penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap virus tersebut.
b. Poliomyelitis abortif
Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemic, terutama yang diketahui kontak dengan penderita poliomyelitis yang jelas. Diperkirakan terdapat 4-8 % penduduk pada suatu epidemic. Timbul mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Gejala berupa infeksi virus, seperti malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi dan nyeri abdomen.
c. Poliomyelitis non-paralitik
Gejala klinik sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala, nausea, dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari, kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini ialah adanya nyeri dan kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai dengan hipertonia, mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior. Bila anak berusaha duduk dari sikap tidur, maka ia akan menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua lengan menunjang kebelakang pada tempat tidur (tanda tripod) dan terlihat kekakuan otot spinal oleh spasme. Kuduk kaku terlihat secara pasif dengan kernig dan brudzinsky yang positif.
d. Poliomyelitis paralitik
Gejala yang terdapat pada poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial, timbul paralisis akut. Pada bayi ditemukan paralisis vesika urinaria dan atonia usus. Secara klinis dapat dibedakan beberapa bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada susunan saraf :
1) Bentuk spinal
Dengan gejala kelemahan / paralisis / paresis otot leher, abdomen, tubuh, diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering otot besar, pada tungkai bawah otot kuadrisep femoris, pada lengan otot deltodeus, sifat paralisis asimetris. Reflex tendon berkurang/menghilang, tidak terdapat gangguan sensibilitas.
2) Bentuk bulber
Gangguan motorik satu atau lebih saraf otak dengan atau tanpa gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi.
3) Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar.
4) Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang munurun, tremor dan kadang-kadang kejang.
4. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Silent infection : istirahat
b. Poliomyelitis abortif : istirahat 7 hari, bila tidak terdapat gejala apa-apa aktivitas dapat dimulai lagi. Sesudah dua bulan dilakukan pemeriksaan lebih teliti terhadap kemungkinan kelainan musculoskeletal.
c. Poliomyelitis paralitik/non-paralitik : istirahat mutlak 2 minggu, perlu pengawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralisis pernafasan.
Pengobatan simtomatik bergantung pada :
a. Fase akut : analgetika untuk rasa nyeri otot, diberi pembalut hangat, papan penahan ditelapak kaki agar kaki terletak sesuai terhadap tungkai. Antipiretik untuk menurunkan suhu, jika terjadi retensi urine dilakukan kateterisasi, bila terjadi paralisis pernafasan penderita memerlukan bantuan pernafasan mekanis. Pada poliomyelitis bulbar kadang-kadang reflex menelan terganggu dengan bahaya pneumonia aspirasi. Dalam hal ini anak diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke salah satu sisi.
b. Sesudah fase akut : kontraktur, atrofi dan atoni atot dikurangi dengan fisioterfi, tindakan ini dlakukan setelah 2 hari demam hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar